Rabu, 05 Desember 2012

MENGUTIP ARTIKEL DAN MENGOREKSI KESALAHAN YANG ADA DI ARTIKEL TERSEBUT


HASIL KOREKSI:
  1. SOALNYA seharusnya KARENA
  2. BELI seharusnya MEMBELI
  3. ONGKOS seharusnya BIAYA
  4. TADI seharusnya TERSEBUT
  5. LARIS DIGONDOL MALING seharusnya SERING DIAMBIL OLEH PENCURI
  6. JUTAAN seharusnya JUTA
Mungkin hanya itu yang dapat saya perbaiki. apabila terdapat kesalahan atau terdapat analisis saya yang salah, saya mohon maaf.
Read more / Selengkapnya...

BUDAYA BERBAHASA DI MASYARAKAT INDONESIA


Dari sudut pandang linguistik, Bahasa Indonesia salah satu dari banyak ragam bahasa Melayu. Dasar yang dipakai adalah Bahasa Melayu Riau (wilayah Kepulauan Riau sekarang) dari abad ke-19. Dalam perkembangannya dia mengalami perubahan akibat penggunaanya sebagai bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan sejak awal abad ke-20. Penamaan "Bahasa Indonesia" diawali sejak dicanangkannya Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, untuk menghindari kesan "imperialisme bahasa" apabila nama bahasa Melayu tetap digunakan.

Bahasa Indonesia, bahasa sangat bagus dan banyak dari orang asing yang belajar Bahasa Indonesia untuk kehidupannya. Sayang kita sendiri sebagai penerus bangsa ini, malah menjauhkan diri dari bahasa kita sendiri. Banyak dari kalangan pemuda sekarang lebih suka menggunakan bahasa alay dibandingkan dengan bahasa Indonesia yang tersusun secara sistematis.

kemudian akhir-akhir ini kita sering mendengar di media cetak, elektronik dan sebagainya yaitu bahasa 4LAY "alay". Bahasa Alay adalah singkatan dari Anak layangan, Alah lebay, Anak layu atau Anak kelayapan yang menghubungkannya dengan anak jarpul (Jarang Pulang). Paling terkenal adalah Anak layangan.

Dominannya, istilah ini menggambarkan anak yang menganggap dirinya keren secara gaya busananya. Menurut Koentjaraningrat, Alay adalah gejala yang dialami pemuda dan pemudi Bangsa Indonesia, yang ingin diakui statusnya di antara teman-temannya. Gejala ini akan mengubah gaya tulisan, dan gaya berpakaian, sekaligus meningkatkan kenarsissan cukup mengganggu masyarakat pada umumnya.

Bahasa alay mungkin bahasa kedua pada saat sekarang ini di kehidupan Bangsa Indonesia bagi para pemuda yang ada saat ini. Saat ini bahasa alay sudah ada kamusnya, untuk menterjemahkan segala sesuatu tentang bahasa alay yang digunakan dalam komunikasi, yang dianggap kebanyakan orang sebagai tradisi.
mungkin contoh gambar diatas ini dapat memperlihatkan betapa krisisnya bahasa di Indonesia, di negara tercinta kita ini. 

Dampak negatif lainnya, bahasa Alay dapat mengganggu siapapun yang membaca dan mendengar kata-kata yang termaksud di dalamnya. Karena, tidak semua orang mengerti akan maksud dari kata-kata Alay tersebut. Terlebih lagi dalam bentuk tulisan, sangat memusingkan dan memerlukan waktu yang lebih banyak untuk memahaminya.

Bahasa Alay secara langsung maupun tidak, telah mengubah masyarakat Indonesia untuk tidak mempergunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Sebaiknya bahasa Alay dipergunakan pada situasi yang tidak formal seperti ketika kita sedang berbicara dengan teman. Pada komunitas yang mengerti dengan sandi bahasa Alay tersebut. Kita boleh menggunakannya, tetapi jangan sampai menghilangkan budaya berbahasa Indonesia.

“Kami putra putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa indonesia.”

Nyatanya belum lama ini tanggal 28 Oktober kita baru saja memperingati hari sumpah pemuda yang poin seperti diatas ini termasuk dalam Sumpah Pemuda. Betapa bersejarahnya peristiwa tersebut, para Pemuda pada saat itu memperjuangkan Bahasa Indonesia menjadi bahasa pemersatu bangsa Indonesia. Pada tanggal 28 Oktober 1928, bahasa Indonesia resmi sebagai bahasa persatuan. Saat ini usianya genap 84 tahun. Bahasa pemersatu tersebut kini kian renta. Ironisnya, kian renta justru kian tak populer di kalangan pemuda, khususnya remaja.


Untuk itu, upaya menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama atau setidaknya bahasa kedua tak lain adalah dengan meningkatkan minat baca tulis masyarakatnya. Namun, nampaknya ini bukanlah pekerjaan mudah. Bagaimana mengubah “budaya gadget” dan budaya nonton menjadi budaya baca tulis di Indonesia perlu upaya semua pihak. Jika tidak bahasa Indonesia akan menjadi asing di negerinya sendiri.




...
Read more / Selengkapnya...